Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Kumpulan Cerpen Unik Menggelitik: Part 01


By: _yayuksaboeteam_

=


Tergantung nada getir pada bibir Sasa yang mungil.  Pandangannya tertuju pada potongan kertas tak beraturan yang terserak di meja.
“Kenapa Rio sobek gambarnya?  Mba Sasa kan nggak tahu robot yang Rio inginkan seperti apa?”  getar suaranya membuat suasana makin tegang.
Rio yang duduk berhadapan dengan kakaknya, Sasa menekuk mulutnya kebawah, matanya merah.
“Nggak mau yang itu, jelek!” Rio menjerit dan tangisnya pecah.  Kegaduhan itu telah menjadikan hening malam di ruang belajar berubah mencekam.
“Ya sudah, nggambar sendiri saja sana!”  Habis kesabaran kakaknya menghadapi Rio.
Rio tak terima.  Kaki meja ditendangnya keras-keras.  Melihat adiknya makin kalap, butir-butir bening menetes dari mata bundar Sasa.
“Tidak perlu teriak-teriak, Yo.”  Sasa coba redakan amarah adiknya, namun itu tak berguna.
Bukan semata tentang gambar yang tak sesuai harapan.  Rio lelah bermain seharian, lagi pula menunggu ibunya tak pulang-pulang membuatnya makin merasa kesepian.




=

Pagi saat langit benderang, Setyo dalam perjalanan menuju Wanadadi.  Di area persawahan Badakarya, lalu lintas kosong, ia sedikit menengadahkan wajahnya menatap lanskap alam yang sayang jika dilewatkan.
"Subhanalloh," bisiknya.  Jauh di depan matanya, Sindoro Sumbing berdiri megah, di sisi utara, bukit berbatu menjulang hingga puncak Lawe yang dihiasi hutan biru kehijauan.
Setyo mengambil beberapa gambar lalu mengirimkannya pada Kinanti.  "Pagi, Kinanti.  Aku tahu kau tengah menungguku di kaki Gunung Sindoro."  Senyum Setyo mengembang.  
Sejatinya ia memahami bahwa bahagia tak terukur oleh jarak.  Ia tetap bahagia dan setia meski menjalin cinta jarak jauh.  Namun seminggu tanpa kabar Kinanti membutnya ingin mati.  Di kantor nanti ia ingin mengajukan pindah.
"Pak, kalau diizinkan, pekerjakan saya di daerah Wonosobo saja." Setyo memohon pada pimpinannya.
"Proyek di sini membutuhkanmu.  Ambil saja cuti, selesaikan urusanmu dalam dua hari."
Setya girang bukan main.  Tak buang waktu berangkatlah Setya hari itu.  Dibelinya oleh-oleh di gerai jajan di barat alun-alun kota.  Ponselnya berdering saat hendak membayar.
"Mas Setya, maafkan Kinanti.  Ayah menjodohkanku dengan seorang pengusaha tembakau.  Meski tak mencintainya, aku tak kuasa menolak permintaan ayah."
Semburat jingga dari ufuk barat terasa begitu hangat bersahabat, namun di sini Setya merasa aliran listrik ribuan kilowatt menyambar dan membuatnya sekarat.

=



Di bawah pijar mentari berlarian dua bocah kecil diantara pepohonan.  Kaki kaki menjejak hijau rerumputan di sebuah ladang.  Keringat mulai mengucur membasahi dahi, sebagian membentuk kristal-kristal bening di bawah hidung.
"Lelah, Mas," ujar Rendra pada kakaknya, Satriyo dengan nafas tersengal sengal.
"Ke gubuk, yuk!" ajaknya.  "Kakek, haus!" teriak Satriyo diiyakan Rendra.
Kakek yang tengah duduk dibawah gubuk bambu reyot menyambut mereka.
"Bekal minum kakek habis."  Ucapan itu jelas membuat kedua cucunya menampakan raut kecewa.
"Petik saja kelapa!" ide brilian Satriyo didukung Rendra sepenuhnya.
Kakek pesimis bisa memanjat pohon kelapa yang menjulang.  Tulangnya terlalu renta dan keberaniannya setinggi rumput.
"Ayo!" desak Rendra.
Dalam situasi genting itu, beruntung Bapaknya datang.
"Nah, ambilkan kelapa untuk bocah itu!" tunjuk kakek pada Satriyo dan Rendra berlindung dari panas menggigit dibawah gubuk beratap rumbia.
"Siap!"
Dua kakak beradik tak sabar menunggu di bawah.  Mereka akan tahu, bahwa sesuatu yang segar, layak ditunggu.

=


Kupingku berdenging mendengar ocehannya sepanjang pagi.
"Cepat kau bereskan cangkir dan piring-piring kotor lalu cuci di situ!" tunjuknya pada wastafel. "Jangan malas!"
"Haruskah kau tambahkan kata terakhir?"
Tante Ana menoleh lalu mulai mengomel lagi.  "Lakukan yang benar! Lantainya licin nanti kalau terus menciprat seperti itu."
Aku cuma mencibir sambil terus mencuci piring. Ingin rasanya kulempar mukanya dengan cangkir berlumur sabun.  Atau kuciprati telor yang meletup-letup dalam minyak panas.  Api dibawahnya menjilat-jilat membuat udara kian panas.
"Biar nanti kulap tante?" ujarku melihat tante bergegas mengambil pel.
Tante menggeleng marah.  Ia menggosok lantai dengan tergesa hingga kakinya terpeleset.
"Auw!" Pekiknya.
Aku menarik lengannya.  Bukannya berterimakasih, ia terus menceracau tak jelas.  Tangannya terus memegangi panggulnya.  Telor diatas wajan berubah hitam.

=


Pagi itu seorang anak dalam isak menelpon ibunya dari pondok.  Seorang ustadzah mendampinginya seraya menepuk-nepuk punggung putri asuhnya.
“Halo, Bu?  Kemarin handukku hilang, sekarang ember pecah tertabrak kawan yang lari terburu-buru.”  Suara parau itu membuat perasaan ibunya kacau.
Ibu membalas dengan suara tinggi.  “Bagaimana bisa terjadi, Ara?  Anak itu harus bertanggung jawab.  Terus handukmu, coba cari di tempat teman-temanmu!”
Butiran bening membanjiri pipi Ara.  Ia merasa bersalah sampai kesulitan mengungkapkan keinginannya.
“Maaf, Bu.  Ini Hanifah, pendamping putri Ibu.”  Suara lembut Bu Hanifah yang mengambil alih telepon belum mampu meredakan apapun.  Baik tangis anak maupun emosi ibunya.
“Ara menelpon hanya agar bisa didengarkan kesedihannya.  Soal ember dan handuk, sudah kami atasi.”
“Lalu?” suara ibu meluruh.
Ustadzah Hanifah menyampaikan bahwa belajar tertib terhadap barang-barang sendiri juga butuh kesabaran.  Mental dan karakter yang membentuk pribadi bijak pada anak.

=


Rina menggulung manset sedikit di atas siku lalu melepas arloji.  Sisa air wudlu masih menetes dari wajah ketika ia berbalik menyusul jamaah lainnya.
“lagi-lagi aku telat,” desisnya.
Usai menunaikan kewajiban, temannya memberi aba-aba.
“Rin, teman-teman sudah menunggu di bus.  Kamu dzikir apa ketiduran?”
Setelah menggantung kembali mukena pada tempatnya, Rina bergegas menuju bus.
“Karena peserta lengkap, perjalanan kita lanjutkan.  Kuharap tak ada barang yang ketinggalan.”  Tour Leader memberi peringatan dengan microphone di samping pengemudi.  Bus bergerak perlahan keluar area parkir lalu memotong laju beberapa pengendara agar dapat memasuki kepadatan lalu lintas jalan raya.
“Pak, tolong berhenti sebentar, arlojiku ketinggalan!”  pekik Rina pada jarak sepuluh meter dari gerbang masjid.
Semua penumpang menatap garang.  Rina memelas agar diizinkan mengambil arlojinya.  Bus menepi.  Rina turun diiringi sorot tajam teman-temannya lalu berlari sekencang-kencangnya.


.
Terlaris:
  1. Alat Bantu Paling Hot Ketika Bermain di Ranjang!
  2. Daftar Artis Indonesia Dengan Dada Terbesar
  3. Artis Indonesia Dengan Bokong Terseksi !
  4. HOT HOT HOT !!! Daftar Artis Terpanas Indonesia 2012!
  5. Wow! Ada Situs Yang Jual Toko Online Cuma 99 Ribu !!
  6. Ternyata, Ada Trik Paling Mudah Mendapatkan Bisnis Sampingan Tanpan Modal Sepeserpun!

Artikel Terkait Lainnya Seputar: